KEBUDAYAANKU: TRADISI TINGKEPAN PADA MASYARAKAT JAWA

 Kupas Tuntas Antropologi Bersama Ibu Serepina Tiur Maida, S.Sos., M.Pd., M.I.Kom

KEBUDAYAANKU

KEBUDAYAANKU: TRADISI TINGKEPAN PADA MASYARAKAT JAWA

Masyarakat yang ada di Jawa memiliki beragam kebudayaan yang di dalamnya masih terkandung nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah tradisi yang dilakukan saat kehamilan hingga ke tahap melahirkan, misalnya selamatan untuk bayi yang baru lahir (selamatan brokohan), selamatan untuk bayi yang berusia 5 hari (sepasaran), selamatan untuk bayi yang usinya 35 hari (selapanan), selamatan untuk bayi yang berusia 3 bulan 15 hari (telunglapan), tradisi 7 bulan kehamilan (mitoni), dan tradisi saat bayi berusia 1 tahun (ngetahuni) (Yohanes, dkk, 2019).

Pelaksanaan selamatan kehamilan dalam bentuk sebuah tradisi merupakan bentuk rasa syukur serta memohon doa supaya calon bayi bisa mengalami pertumbuhan dengan sehat serta ketika hendak dilahirkan tidak menghadapi rintangan dan lahir dengan selamat. Selamatan yang dilakukan saat sang ibu mengandung seorang anak dapat berupa: mapati, mitoni, dan maluhi (nugroho, Yusuf, Dkk, 2019) .

Tradisi adalah semua yang meliputi kepercayaan, ajaran, kebiasaan, serta adat yang diwarisi dari nenek moyang ke generasi penerus secara turun temurun. Mitoni merupakan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Jawa untuk memperingati tujuh bulan usia kandungan individu, mitoni sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu kata pitu yang memiliki arti tujuh. Oleh karena itu tradisi ini dilaksanakan pada kehamilan tujuh bulan. Upacara mitoni hanya dilaksanakan pada kehamilan anak pertama, sehingga pada kehamilan anak kedua, ketiga, dan seterusnya tradisi mitoni ini tidak dilakukan (Wiranoto, 2018).

Tradisi juga dapat diartikan sebagai adat kebiasaan ataupun suatu proses kegiatan yang menjadi hak milik bersama di dalam suatu kelompok masyarakat, tradisi juga dilakukan secara terus-menerus dalam suatu masyarakat, dan dapat menjadi identitas suatu masyarakat. Selain itu ada juga yang namanya tradisi lisan, artinnya sebuah tradisi yang disampaikan secara terus-menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang disampaikan melalui lisan. Adapun di daerah-daerah lain, tradisi mitoni sering kali disebut dengan tingkeban yang dalam pelaksanaannya sudah disesuaikan dengan adat, mulai dari hari pelaksanaanya yang ditentukan di hari Selasa atau hari Sabtu dan dilakukan di tanggal yang ganjil berdasarkan kalender Jawa, seperti tanggal 7 dan tanggal 15 di waktu siang hari pada pukul 11 siang (Puji Rahayu dan Dkk, 2019).

Tradisi Mitoni yang dilakukan saat usia kehamilan 7 bulan, yang hanya dilakukan untuk anak pertama memiliki tujuan dalam pelaksanaanya berupa memberikan keselamatan bagi bayi saat berada dalam kandungan, saat sudah dilahirkan, dan hingga dewasa. Sehingga upacara mitoni dapat memberikan simbol bahwa anak akan selalu diberikan keberkahan oleh Yang Maha Esa. Tradisi mitoni bagi masyarakat Jawa sangat penting dilakukan, adapun dalam pelaksanaanya ada banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum upacara mitoni dilakukan, di antaranya yaitu mulai dari persiapan alat dan bahan, hidangan makanan, persiapan kain yang akan digunakan misalnya beragam kain yang di batik dengan motif yang berbeda. Selain itu, tradisi ini dilakukan dengan tujuan untuk meminta permohonan agar diberi keselamatan bagi calon ibu dan calon anaknya. Di dalam rangkaian pelaksanaan tradisi mitoni juga mengundang keluarga, kerabat, dan tetangga untuk turut serta dan menyaksikan pelaksanaan tradisi mitoni yang dilakukan saat calon ibu mengandung anak pertama di usia kandungan yaitu tujuh bulan.

 

Prosesi Upacara Tradisi Selamatan Tingkeban

Adapun pelaksanaan di jelaskan sebagai berikut :

  1. Siraman dilakukan oleh para sesepuh, berjumlah tujuh orang, antara lain bapak, anak yang sedang hamil, nenek, bude, atau yang dipandang lebih tua dalam keluarga. Siraman pertama pada upacara orang hamil dengan mandi dilaksanakan oleh ayah dari sang calon ibu, lalu dilanjutkan oleh ibu dari sang calon ibu, kemudian, dilanjutkan oleh ibu para sesepuh.
  2. Setelah ketujuh sesepuh selesai menyirami si calon ibi, acara dilanjutkan dengan pemakaian dua setengah meter kain putih yang dililitkan ke tubuh ibu calon bayi. Selanjutnya, upacara memasukkan telur ayam kampong kedalam kain calon ibu oleh sang suami melewati perut hingga pecah. Hal ini dilaksanakan dengan harapan bahwa ibu calon bayi tersebut dapat melahirkan dengan lancar dan lahir dengan mudah tanpa arah melintang.
  3. Selesai memasukkan telur yang melewati perut sang calon ibu, acara dilanjutkan dengan berganti kain panjang dan pakaian sebanyak tujuh kali. Dalam acara berganti pakaian ini dilandasi dengan kain putih. Kain putih bermakna bahwa bayi yang dilahirkan adalah suci, putih dan bersih.
  4. Pada acara berganti pakaian sebanyak tujuh kali dipersiapkan kebaya tujuh macam, kain panjang batik atau jarik tujuh macam, dua meter lawe, dan stagen. Salah satu dari jarik yang dipakai untuk berganti ada yang bercorak Truntum.
  5. Acara selanjutnya adalah memasukkan dua kelapa gading di deket perut ibu yang hamil. Kelapa itu diperosotkan dari atas kebawah dan diterima oleh calon nenek. Makna dari acara tersebut adalah agar bayinya lahir dengan lancar dan mudah. Kemudian, diteruskan dengan acara calon nenek dari pihak calon ibu menggendong kelapa gading yang telah digambari tokoh Kamajaya dan Dewi Kamaratih bersama ibu besan.
  6. Calon ayah memiliki satu di antara dua buah kelapa gading yang bergambar tokoh Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Pada waktu memilih satu di antara buah kelapa gading, kedua kelapa tersebut berada dalam posisi terbalik. Hal ini dimaksudkan agar calon ayah tidak bisa melihat gambar tokoh Kamajaya atau Kamaratih. Selanjutnya, kelapa yang sudah dipilih itu dipecah atau dibelah. Apabila kelapa yang dipilih bergambar tokoh Kamajaya, diharapkan bayi yang lahir adalah laki-laki tampan seperti Kamajaya. Apabila kelapa yang dipilih bergambar tokoh Dewi Kamaratih, diharapkan bayi yang lahir adalah perempuan yang cantik rupawan seperti halnya Dewi Kamaratih.
  7. Upacara selanjutnya, adalah memilih nasi kuning yang terletak di dalam takir sang suami. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara jual dawet dan rujak. Bagi pembeli yang menginginkan dawet atau rujak cukup membayar dengan pecah genting. Uang hasil penjualan, lalu dimasukkan kedalam kuali yang terbuat dari tanah liat. Kuali yang berisi uang yang terbuat dari pecahan genting itu, lalu dibawa kedeket pintu dan dipecah di depan pintu tersebut. Makna dari upacara pecah kuali tersebut adalah diharapkan agar kelak anaknya mendapatkan anugrah yang berlimpah dan selalu ikhlas beramal.

KESIMPULAN

Tradisi mitoni merupakan sebuah tradisi Jawa yang dilakukan pada ibu hamil yang mengandung anak pertama dan dalam usia kehamilan yaitu tujuh bulan. Dalam tradisi mitoni ini dilakukan untuk memberikan keselamatan bagi bayi saat berada dalam kandungan, saat sudah dilahirkan, dan hingga dewasa. Adapun dari segi historisnya tradisi mitoni berasal dari seorang wanita bernama Niken Satingkeb yang kehilangan 9 anaknya yang kemudian berkonsultasi dan meminta saran dari Jayabaya yang memberikan saran berupa mandi setiap hari rabu, mandi setiap hari sabtu, mandi suci di sore hari sekitar jam 17.00. Selain itu alat mandi yang digunakan yaitu berupa gayung tempurung kelapa dan dalam proses pemandian diselipkan doa-doa. 

Adapun persiapan yang harus dilakukan sebelum melaksanakan tradisi mitoni ini antara lain dengan menyiapkan telur yang diperoleh dari ayam kampung, kelapa gading yang kemudian diberi gambaran karakter wayang Arjuna dan karakter wayang Sumbadra, lalu menyiapkan 7 kain jarik, bunga 7 warna, dan air yang diperoleh dari 7 sumur. Selanjutnya setelah proses persiapan selesai maka masuk ke dalam tahap pelaksanaan yang meliputi: siraman dengan air yang sudah dicampur dengan bunga 7 warna, memecahkan telur, membelah kelapa gading, mengganti pakaian menggunakan kain jarik yang telah disiapkan, berjualan es dawet dan rujak kemudian yang terakhir adalah mengadakan jamuan dan kenduri serta menyediakan jajanan pasar untuk para tamu, keluarga, sanak saudara.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, W. “Kearifan Lokal Jawa dalam Tradisi Mitoni di Kota Surakarta.” Journal of Language Education, Literature, and Local Culture 3, no. 1 (2021): 19–26.

Adriana, I. “Neloni, Mitoni, atau Tingkeban.” Jurnal KARSA 19, no. 2 (2011): 239–47.

Baidawi, K.H. Sejarah islam di Jawa. Yogyakarta: Araska, 2020.

Baihaqi, I. “Karakteristik Tradisi Mitoni di Jawa Tengah sebagai Sebuah Sastra Lisan.” Jurnal Arkhais 8, no. 2 (2017).

Boanergis, Yohanes, Jacob Daan Engel, dan David Samiyono. “Tradisi Mitoni Sebagai Perekat Sosial Budaya Masyarakat Jawa.” Jurnal Ilmu Budaya 16, no. 1 (2019): 49–62

Nugroho, M. Yusuf Amin, Agus Wuryanto, Farid Gaban, Erwin Abdillah, dan Fatkhul Wahid. Ensiklopedia Kebudayaan Wonosobo. Bimalukar Kreativa, 2020.

Rahayu, Puji, dan Dkk. Tradisi-tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan. Semarang: Forum Muda Cendikia, 2019.

Sholikhim. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2010.

Subaidi. Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah An Nahdliyah Kajian Tradisi Islam. Jepara: Uninus Press, 2019.

Umar, H. Riset SDM dalam Organisasi Husein Umar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Wiranoto. Cok Bakal Sesaji. Surabaya: CV Jakad Publishing, 2018


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran